Gegara Perang di Sudan, Sedikitnya 185 Tewas dan 1800 Luka-luka

Gegara Perang di Sudan, Sedikitnya 185 Tewas dan 1800 Luka-luka


FAKTAJAYA.COM, JAKARTA — Akibat bentrokan antara militer dan pasukan paramiliter Sudan sejak Sabtu (15/4) lalu telah menewaskan sedikitnya 185 orang dan melukai 1.800 lainnya.


Informasi itu diungkap oleh kepala misi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Sudan, Volker Perthes.


Perthes mengatakan, saat ini situasi di negara Afrika itu “sangat cair” sehingga sulit untuk mengetahui kondisi pemerintahan yang sebenarnya.


Bentrokan ini pecah ketika dua faksi utama rezim militer Sudan saling berebut kekuasaan di negara itu.


Pertama, ada militer Sudan yang berada di bawah kekuasaan penguasa de facto, Abdel Fattah al-Burhan.


Kubu kedua yaitu pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) ada di bawah kendali mantan panglima perang, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang juga dikenal sebagai Hemedti.


Perebutan kekuasaan ini telah terjadi sejak sebelum pemberontakan pada 2019, yang menggulingkan pemimpin diktator Omar Al Bashir.


Setelah Bashir lengser, upaya Sudan beralih ke pemerintahan sipil yang demokratis terus mengalami hambatan. Persaingan dan kekerasan demi merebut kekuasaan tak terelakkan.


Pada Oktober 2021, terjadi kudeta yang membuat tentara kembali berkuasa, padahal saat itu transisi menuju pemerintahan demokratis sedang berjalan.


Akibatnya, proses itu terganggu dan membuat warga kembali protes hingga memperparah kondisi ekonomi negara.


Jika ditelisik lebih jauh, penyebab utama ketegangan di Sudan sebetulnya karena tuntutan masyarakat sipil untuk pengawasan militer dan integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata negara.


Seperti dilansir The Guardian, warga sipil juga mendesak militer menyerahkan kepemilikan mereka di sektor-sektor pertanian, perdagangan, dan industri lainnya.


Masyarakat juga menuntut keadilan atas kejahatan perang oleh militer dan sekutu dalam konflik di Darfur pada 2003 silam.


Mereka meminta keadilan atas pembunuhan terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi pada Juni 2019 yang melibatkan pasukan militer.


Para aktivis dan kelompok sipil tak terima dengan berbagai penundaan penyelidikan resmi.


Selain itu, mereka juga menginginkan keadilan bagi setidaknya 125 orang yang tewas oleh pasukan keamanan dalam aksi protes sejak kudeta pada 2021 lalu.(tim)

Sumber : berbagai sumber

About Maulana Kusuma Wijaya

Leave a reply translated

Your email address will not be published. Required fields are marked *