Kekayaan dan Prahara ‘Warisan’ Pakubuwono X
Ilustrasi Pakubuwana X. tirto.id
Lewat industri gula, kekayaan Pakubuwono X melampaui para pejabat Belanda. Jauh setelah kematiannya, para ahli waris konflik soal asetnya yang terpendam.
Faktajaya.com – Benz Victoria Phaeton berwarna hitam mengilap, roda-roda rampingnya meluncur membelah kerumunan. Di dalamnya duduk Sri Susuhunan Pakubuwono X, penguasa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sosok ini adalah orang pribumi pertama di Hindia Belanda yang memiliki mobil.
“Orang-orang menyebut Benz itu kereta setan, kereta iblis, karena menyemburkan api dan bergerak tanpa kuda […] Rakyat terbatuk-batuk dan menutupi mulut serta hidung mereka dengan kain, namun semua orang tetap menonton. Tontonan yang riuh rendah itu hanya membuat kekaguman mereka terhadap Susuhunan semakin besar,” tulis jurnalis Michel Maas dalam De Gelogen Kolonie: Naar Indonesië om Indië te vergeten (2025).
Sekitar tahun 1894 hingga 1900, Gubernur Jenderal Hindia Belanda hingga pejabat dan bawahannya di Batavia, masih mengandalkan kereta kuda untuk mobilitas resmi.
Bahkan para kaisar di Asia Timur, baik di Dinasti Qing Tiongkok maupun Kekaisaran Jepang, belum mengadopsi teknologi ini sebagai kendaraan pribadi.
Langkah Sang Susuhunan membeli mobil seharga 6.000 hingga 10.000 gulden, melalui firma Prottle & Co di Surabaya itu mengguncang tatanan sosial kolonial.
Kaum elite Eropa yang terbiasa memandang rendah pribumi merasa dipermalukan oleh kemewahan ini. Bagaimana mungkin seorang raja jajahan memiliki akses terhadap modernitas yang melampaui tuan-tuan kolonialnya?
Peristiwa itu menjadi kisah yang melekat tentang kekayaan Pakubuwono X, sosok yang kemudian dijuluki De Keizer van Java atau Kaisar Jawa. Ia memiliki kekayaan dari transformasi industri yang mengubah wajah ekonomi, dan kelak meninggalkan jejak sengketa warisan bagi keturunannya.
Sri Susuhunan Pakubuwono X lahir dengan nama kecil Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna pada 29 November 1866. Ia adalah putra dari Pakubuwono IX dan naik takhta tanggal 30 Maret 1893 dalam usia muda.
Masa pemerintahannya selama 46 tahun mencatatkan dirinya sebagai raja yang paling lama memerintah dalam sejarah Kasunanan Surakarta.
Era kepemimpinannya sering disebut sebagai masa keemasan Surakarta, saat stabilitas politik berpadu dengan kemakmuran ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang cerdas, flamboyan, dan visioner. Merujuk surat kabar De Vorstenlanden yang terbit di Solo pada 7 Januari 1929, selain menyandang bintang kebesaran Kerajaan Belanda seperti Grootkruis Oranje Nassau dan Commandeur Singa Belanda, Pakubuwono X juga diakui oleh kerajaan-kerajaan asing.
Ia memegang bintang jasa dari Siam, Kamboja, Mecklenburg, Austria, hingga penghargaan “Naga Kembar” dari Kekaisaran Cina dan Bintang Hitam dari Benin, Afrika.
Residen Surakarta kala itu, G.F. van Wijk, dalam memoarnya, Memorie van Overgave van de residentie Soerakarta, sempat menilai Pakubuwono X sebagai sosok yang senang pada kemewahan. Namun, di balik citra pesolek itu, ia memahami betul bahwa di era kolonial, simbolisme adalah senjata, dan kekayaan adalah perisai.
Sumber utama kekayaan Pakubuwono X bukanlah upeti, melainkan industri gula. Pada akhir abad ke-19, dunia sedang dilanda demam gula, dan Pulau Jawa adalah salah satu produsen utamanya.
Di bawah kekuasaannya, mengutip artikel bertajuk “Sungai Bengawan Solo: Jalur Perdagangan di Jawa Era Pakubuwono X”,
Bengawan Solo sangat ramai digunakan untuk mengangkut gula dari pabrik-pabrik besar yang tersebar di daerah seperti Klaten, Solo, Sragen, dan Madiun.
Sementara nama-nama pabrik seperti Gondang Winangoen, Tjolomadu, Tasikmadu, dan Modjo menjadi mesin uang ke dalam kas keraton.
Setiap pabrik gula menciptakan ekosistem ekonomi yang kompleks mulai dari buruh perkebunan tebu, transportasi lori, hingga pengolahan di pabrik yang mengepulkan asap hitam di langit Jawa.
Keuntungan dari manisnya gula inilah yang memberikan Pakubuwono X kemandirian finansial. Dalam satu tahun, belasan pabrik penggilingan gula di Karesidenan Surakarta mampu memproses ribuan pikul gula yang kemudian diekspor ke pasar internasional.
Kekayaan inilah yang memberinya julukan “Sunan Sugih” (Sunan Kaya), orang terkaya di Hindia Belanda pada masanya.
Gaya Hidup Eropa dan Diplomasi Udik
Kekayaan yang melimpah tidak membuat Pakubuwono X mengurung diri di dalam tembok keraton.
Uang hasil gula ditransformasikan menjadi infrastruktur publik, yang sebagian besar masih berfungsi hingga hari ini.
Dia membangun Pasar Gede Hardjonagoro pada 1927 dan resmi beroperasi tiga tahun kemudian. Sri Susuhunan juga merenovasi dan membangun stasiun-stasiun kereta api seperti Stasiun Jebres dan Stasiun Sangkrah untuk memfasilitasi arus barang dan manusia.
Di bidang sosial dan budaya, Pakubuwono X membangun Stadion Sriwedari, yang kelak menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Indonesia.
Ia juga menunjukkan sikap toleransi dan pluralisme dengan pembangunan fasilitas, seperti rumah pembakaran jenazah bagi warga Tionghoa dan Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan pada 1905.
Ciri khas dari proyek-proyek pembangunannya adalah monogram “PB X” pada gapura-gapura perbatasan kota, jembatan, dan gedung-gedung, seolah ingin menegaskan bahwa kesejahteraan rakyat Surakarta hadir berkat naungan rajanya, bukan semata-mata karena Pemerintah Kolonial.
Kekayaan juga mengubah gaya hidup keraton. Kuntowijoyo dalam “Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan Wong Cilik Biasa di Kasunanan Surakarta, 1900-1915” (2003), mencatat bahwa pada masa Pakubuwono X, terjadi pergeseran budaya di kalangan aristokrat Jawa.
Minuman tradisional mulai bersanding dengan sampanye dan minuman beralkohol lain. Rijsttafel mewah menjadi standar jamuan.
Sang Raja dikenal gemar mengoleksi barang-barang mewah, termasuk mobil-mobil terbaru dan kuda-kuda ras terbaik. J.B Kristianto dalam Seribu Tahun Nusantara (2000:613), menuturkan Sunan Pakubuwono X memiliki kekayaan emas, intan, dan berlian sampai tujuh bak mandi.
Namun, di balik gaya hidup hedonis tersebut, Pakubuwono X menjalankan strategi “Robin Hood” yang unik. Ia dikenal sangat dermawan.
Setiap kali melakukan perjalanan dinas ke pelosok daerah, ia selalu melakukan tradisi menyebar udik-udik atau uang receh kepada rakyat jelata yang berkerumun menyambutnya.
Semua yang dilakukannya itu membuat hubungan Pakubuwono X dengan pemerintah kolonial penuh siasat.
Di depan umum ia tampil sebagai sekutu setia Ratu Belanda, rajin hadir di upacara resmi, menerima tanda kehormatan, dan memberi tempat sejajar bagi residen Belanda dalam acara kenegaraan.
Sikap ini membuatnya aman dari kecurigaan.
Namun di balik layar, ia menyalurkan dana dari pabrik gula ke organisasi pergerakan nasional.
Dinukil dari jurnal “Pakubuwono X: Politik Oportunisme Raja Jawa (1893-1939)” (2021), Budi Utomo dan Sarekat Dagang Islam mendapat dukungan finansial dan perlindungan moral darinya.
Tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto bahkan disebut dekat dengan Sunan dan kerap memperoleh perlindungan politik.
Kekayaan besar membuat posisi Pakubuwono X kuat. Belanda enggan mengusiknya, sementara kaum pergerakan melihatnya sebagai patron penting yang memberi ruang bagi gerakan nasional.
Gerbong Senyap dan Prahara Ahli Waris
Salah satu bukti fisik yang paling menggambarkan puncak kekayaan dan kecanggihan selera Pakubuwono X adalah kereta apinya. Di Alun-alun Selatan Keraton Surakarta, dua gerbong tua masih terparkir sebagai saksi bisu masa lalu.
Gerbong kereta pertama berwarna hijau putih, kerap dipakai untuk meninjau pabrik gula atau berpesiar bersama keluarga, berangkat dari Stasiun Solo Jebres yang juga ia bangun dengan megah.
Gerbong kedua adalah gerbong jenazah berwarna putih. Dipesan pada 1909 dan selesai tahun 1914, gerbong ini baru digunakan 24 tahun kemudian, tepat saat Pakubuwono X wafat pada 22 Februari 1939.
Jenazahnya dibawa dari Solo ke Yogyakarta dan dimakamkan di Imogiri. Setelah itu, gerbong lama teronggok di Balai Yasa Yogyakarta, kehilangan fungsi, hingga akhirnya dipulangkan ke Solo dalam kondisi renta.
Wafatnya Pakubuwono X terjadi sesaat sebelum Perang Dunia II. Kekosongan segera terasa saat pabrik gula yang menjadi sumber kekayaan keraton hancur atau diambil alih Jepang dan masa revolusi.
Setelah Indonesia merdeka, beberapa lahan milik keraton menjadi terbengkalai dan sering melahirkan konflik.
Pada 1970, Taman Sriwedari seluas 9,9 hektare di Solo menjadi objek sengketa antara Pemkot Solo dan ahli waris. Taman bersejarah ini dibangun Pakubuwono X pada 1877 sebagai hadiah untuk rakyat.
Begitu pula Rumah Sakit Kadipolo yang dibangun pada 1915, sempat menjadi perselisihan dalam jual belinya dengan Sigit Harjojudanto, putra Presiden Soeharto, pada 1985.
Pakubuwono X tak hanya menanamkan kekayaan dalam tanah dan pabrik, tetapi juga merambah investasi keuangan yang modern.
Diam-diam ia membeli saham di 12 perusahaan besar Hindia Belanda, mencakup sektor-sektor vital seperti perminyakan (saham di Batavian Petroleum Company atau perusahaan minyak Batavia), farmasi (pabrik kina di Bandung), dan logistik (perusahaan pelayaran di Semarang).
Saham-saham ini dikelola Spaarfonds Bank, sebelum akhirnya beralih ke pengawasan Bank Indonesia setelah pendudukan Jepang dan revolusi. Dalam transisi kekuasaan, aset itu terlupakan.
Puluhan ahli waris kehilangan jejak dokumen kolonial, membuat saham-saham bernilai besar itu tidur selama puluhan tahun.
Warsa 1973, Bank Indonesia mengumumkan kesempatan untuk mengklaim saham era kolonial yang memicu keluarga besar Pakubuwono X bergerak.
Menurut ulasan Tempo bertajuk “Mencari Pewaris Raja” pada 8 November 1985, salah satu cucu Pakubuwono X, K.B.H.M.H. Djombo Djajaningrat, lalu tampil sebagai penggerak. Ia menelusuri birokrasi, menyurati Belanda, hingga menemukan bahwa saham atas nama Pakubuwono X masih utuh dengan nilai nominal 395.000 gulden pada 1937.
Dihitung ulang pada 1980-an, nilainya membengkak menjadi miliaran rupiah. Syaratnya ialah pencairan hanya bisa dilakukan dengan penetapan pengadilan, dan ada batas waktu hingga tahun 1987.
Awalnya keluarga sepakat menunjuk Djombo sebagai kuasa tunggal. Tapi semakin dekat bayangan uang besar, semakin tumbuh rasa curiga. Tidak semua dari 42 ahli waris yang terdata, termasuk Pakubuwono XII yang sedang bertakhta, merasa nyaman dengan kepemimpinan Djombo.
Pada 1983, sebagian ahli waris mendirikan Yayasan Makuto Nugroho untuk mengambil alih kendali. Konflik memuncak ketika yayasan mencabut kuasa Djombo dan melaporkannya ke pengadilan.
Djombo merasa dikhianati setelah satu dekade perjuangan, memperingatkan bahwa sengketa hanya akan merugikan semua pihak.
“Saya sudah merintis usaha itu selama 10 tahun, sekarang secara sepihak usaha itu mereka potong. Padahal, seandainya uang itu cair, toh tidak akan saya makan sendiri,” ujar Djombo.
Peringatan itu terbukti. Proses hukum berlarut-larut, hakim terjebak dalam sengketa kuasa, sementara waktu terus berjalan menuju 1987.
Tak ada catatan pencairan dana besar-besaran. Yang tersisa hanyalah kisah tentang aset yang kemungkinan besar hangus menjadi milik negara, terkubur dalam ego dan ketidakpercayaan internal keluarga sendiri.(tirto.id/mkw)

