Mengurai, ‘Siapa Penghalang’ RUU Perampasan Aset?

Oleh : Maulana K.W.Isk – faktajayanews
Ilustrasi: faktajaya.com
JAKARTA – Hingga kini rakyat Indonesia menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sama sekali sudah tidak menghormati Surat Presiden (Surpres) tentang usulan pembahasan Rencana Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana (PA-TP).
Bahkan sampai selesai masa reses 15 Agustus 2023, serangkaian sidang paripurna sama sekali tidak menyinggung, apalagi membacakan Surpres tersebut.
Padahal, Presiden Joko Widodo meminta agar DPR memberikan prioritas utama untuk pembahasan RUU tersebut, yang sangat diperlukan sebagai landasan hukum untuk menyelamatkan harta negara yang berada di bawah cengkeraman koruptor.
Kini masyarakat juga harus mendorong Pemerintah untuk mendesak DPR mendahulukan pembahasan RUU Perampasan Aset itu. Soalnya, ditengarai sudah berkali-kali lembaga wakil rakyat itu enggan memasukkan RUU itu dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas.
Terakhir, dari 41 RUU yang diprioritaskan Prolegnas 2023 yang diumumkan 23 November 2022, DPR tak mencantumkan RUU Perampasan Aset itu. Artinya, tahun ini pun DPR tidak menjadwalkan untuk membahas RUU itu.
Sehingga tak mengherankan belakangan tak sedikit rakyat yang mengatakan DPR terkesan tidak mau membahas, apalagi menyetujui RUU itu.
Bagaimana tidak, hampir tiap tahun DPR berkelit. RUU yang diinisiasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) pada 2003 itu mengadopsi The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC). RUU prakarsa pemerintah itu pernah masuk Prolegnas 2005 – 2009 dan menjadi salah satu dari 31 RUU Prolegnas Proritas 2008. Tapi, waktu itu DPR abai, tidak membahasnya.
RUU diperbaiki, judulnya diubah menjadi RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Pernah masuk Prolegnas 2010 – 2014 dan tercatat sebagai salah satu dari 69 RUU prioritas 2014. Tapi, lagi-lagi, DPR tidak menyentuhnya.
Kemudian, RUU itu masuk Prolegnas 2015 – 2019. Namun DPR enggan menyidangkannya karena kesibukan pergantian keanggotaan pada akhir 2019. Selanjutnya DPR berjanji memasukkan ke Prolegnas Prioritas 2022. Namun, ternyata DPR justru mencoretnya.
Kemudian pemerintah pun mulai mendesak DPR agar memasukkan RUU itu ke dalam pembahasan 2023. Bahkan Presiden Joko Widodo sempat mengeluh dan menyatakan kekesalannya karena sudah berkali-kali mendesak lembaga wakil rakyat itu, tapi mereka malah mengabaikannya.
Jokowi mengatakan, pemerintah tak mungkin terus-menerus mengulangi soal RUU Perampasan Aset itu. Presiden meminta publik ikut mendorong DPR agar mau membahas dan menyetujuinya.
Mengharap desakan publik sepertinya jauh panggang dari api.
Memiskinkan Koruptor
RUU Perampasan Aset diharapkan menjadi bagian dari perwujudan keadilan dalam paradigma pemulihan (rehabilitasi).
Tanpa UU Perampasan Aset, pelaku korupsi dan keluarganya dapat terus menikmati hasil kejahatan mereka, meski secara pidana pelaku telah menjalani hukuman.
Lalu, harta apa saja yang bisa disita?. Menurut RUU itu, harta ilegal yang dapat dirampas adalah aset hasil tindak pidana korupsi. Termasuk, aset hasil kejahatan yang sudah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau perusahaan, baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan.
Aset yang juga bisa dirampas adalah harta yang digunakan untuk melakukan tindak pidana. Aset lain milik koruptor bisa disita sebagai pengganti harta yang telah dinyatakan dirampas.
Perampasan aset juga bisa dilakukan apabila harta yang dimiliki tak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang dapat dibuktikan asal-usul perolehannya. Ketentuannya, nilai aset yang layak disita sedikitnya Rp 100 juta.
Menurut RUU itu, yang mendapat kewenangan melakukan perampasan aset adalah Jaksa Agung. Maka, ada pasal yang mengatur kewenangan Jaksa Agung dalam melakukan perampasan aset yang dikuasai koruptor atau pelaku tindak pidana.
Para koruptor dan pelaku kejahatan bisa dimiskinkan dengan perampasan aset, apabila mereka tidak bisa membuktikan keabsahan perolehannya.
Perampasan aset tak mensyaratkan proses peradilan terlebih dahulu. Kejaksaan mendapat wewenang untuk merampas aset dengan atau tanpa pemeriksaan peradilan. Selama ini tak ada UU tentang perampasan aset.
Kondisi itu sering sering dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan atau koruptor untuk menyembunyikan hasil korupsinya.
Selain Presiden Jokowi yang sudah beberapa kali mendesak DPR untuk memprioritaskan pembahasan RUU Perampasan Aset, Menko Polhukam Mahfud MD belakangan bahkan mulai memperlihatkan kekesalannya. Soalnya, rencana pembahasan RUU itu lagi-lagi dimentahkan oleh parlemen.
Kalau DPR tetap saja abai atau tak mau membahas dan menyetujuinya, Mahfud MD sempat menyebutkan bahwa pemerintah bisa saja menerbitkan Perpu (Peraturan Pengganti Undang-undang). Ada alasan penerbitan Perpu itu, seperti keadaan yang mendesak.
Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), dari Rp 62 triliun aset negara yang dikorupsi selama 2021, yang bisa diselamatkan cuma Rp 1 triliun (1,6 persen). Artinya harta negara yang tak bisa diselamatkan sangat besar.
UU atau Perpu Perampasan Aset pasti akan membuat para koruptor was-was, terutama yang belum terjamah oleh operasi tangkap tangan (OTT) KPK atau diperiksa aparat hukum.
Disisi lain, Kejaksaan bisa saja mengusut harta hasil korupsi, tanpa menunggu penyidikan atau proses peradilan. Begitu seseorang tak bisa membuktikan asal-usul perolehan hartanya secara sah, kejaksaan bisa menyita harta mereka.